No doubt Aristotle just rolled over in his grave. An essay called "Homer and Aristotle" would appear to be a treatise on two ancient Greek thinkers; in this case, it's a depiction of Homer Simpson's Aristotelian virtues. Raja Halwani's "Homeric" essay is amusing, though, and moreover, it actually ends up being enlightening, especially for those just learning Aristotle's ethics. Bart may be a Nietzschean without knowing it; Mr. Burns is a cipher for unhappiness (except when he eats "so-called iced-cream"); and Ned Flanders raises questions about neighborly love. The Simpsons and Philosophy has a lot to say about The Simpsons, and even more to say about philosophy.
Download
Ini SANGAT BERHARGA!!!
BalasHapusAda kata lain selain terima kasih?
THANK YOU!! ;)
Saya suka keluarga ini--menurut saya mereka adalah keluarga Amerika yang sebenar-benarnya. Karena saya sedang dirundung kebosanan, maka ijinkan saya memberikan review yahhh... ;)
BalasHapusTernyata buku ini ditulis oleh beberapa orang yang cinta berat dengan Keluarga Simpson...
Saya nggak tega baca buku ini penuh-penuh, takut salah mengartikan. Jadi saya coba lihat per bab dulu:
Bab satu dibuka dengan cukup radikal!
Masing-masing karakter cerita ini dipetakan berdasarkan karakter para filsuf atau pandangan filosofi mereka. Homer dikait-kaitkan dengan Sang Aristotle, Lisa dengan pandangan anti-intelektualisme Amerika, Maggie dengan pandangan tentang keheningan, Marge dengan konsep motivasi moralnya, dan Bart dengan ke-Nietzsche-annya! Analisis mereka sangat cerdas dan menghanyutkan. Yang paling menarik dari semua tentu saja: Homer!
Si penulis, Raja Halwani, mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan tanpa basa-basi. Menurutnya, Homer is not a vicious person in the sense of being ruled by vice (p.13). Saya tidak berani mengartikan, tapi bahasa mudahnya mungkin: Homer tidak selalu diartikan sebagai seorang yang licik yang selalu dibayangi oleh kesalahan (terkecuali untuk soal makanan dan minuman/bir). Nah, konsep vicious-nya inilah yang digali oleh penulis dari sudut pandang Aristotle. Masalahnya, meski Homer licik pada makanan dan minuman, ia tetap saja tidak bisa dibilang sebagai orang baik secara keseluruhan (not a virtous person). Saya sendiri juga masih bingung dengan apa yang dimaksud karakter vicious yang dimiliki Aristotle. Tapi barangkali karena Aristotle seperti manusia yang lain yang melihat sebuah nilai kontra pada tataran logika. Kita sering lihat Homer buat kesalahan, namun yang dilakukan selanjutnya adalah menambah panjang daftar kesalahannya. Lebih dari itu, Homer merupakan pribadi yang "biasa" saja, dia tidak mempedulikan banyak hal yang terjadi disekitarnya dengan cara yang luar biasa, dan itu semua terjadi karena Homer menginginkannya. But still, he is not a virtous person. Justru dengan karakter yang apa adanya, dia menjadi jujur terhadap dirinya sendiri. Hingga Halwani sampai pada kesimpulannya untuk menggambarkan Homer dalam kekagumannya atas konsep "love of life". Cinta dalam hidup yang cukup sulit untuk dimengerti, tapi barangkali hanya bisa dinikmati. Love you Homer!
Dari penulis lain, analisis mengenai Maggie juga tidak kalah menarik. Lisa yang identik dengan kecerdasannya, sesungguhnya justru mengalami posisi yang dilematis ketika intelektualisme dianggap sebagai bahan ejekan. Ironi memang, tapi ulasannya cukup tajam dan mendefinisikan Lisa sebagai suatu gaya belajar yang unik. Lain lagi dengan Maggi dimana penulisnya sampai-sampai mengutip Kitab Tao Te Ching, yang berbunyi:"Those who know don't talk. Those who talk don't know." Lebih baik diam, begitulah ajaran Maggie.
Bagaimana dengan sang ibu, Marge? konsep motivasi moral Marge, sangatlah unik. Penulis menggunakan berbagi kaitan dengan (lagi-lagi) Aristoteles, khususnya seperti yang ditransliterasikan dalam Nicomachean Ethics. Karakter Marge lengket dengan persoalan etika, dan lengket dengan pengaruh Christian-flavored Aristotelian. Now,... Bart! Dia adalah seorang yang: nakal, rebel, dan melakukan sesuatu berdasar naluri. Tapi konsep 'bad boy' inilah yang ditarik dari Nietzsche. Penulis bahkan mempertanyakan apakah Bart merupakan sosok Übermensch? Ini agak menggelikan, tapi secara serius penulis mengupas bahwa bentuk komedi pada akhirnya merupakan suatu bentuk kesadaran itu sendiri, sebuah refleksi yang nyata atas kehadiran diri kita sendiri.
Saya sampai lupa kalo tokoh-tokoh ini sama sekali tidak riil, untuk itu penulis asli The Simpson harus bertanggungjawab! Hehe, saya bercanda...
Maaf kalau reviewnya tidak terlalu formil, kliatannya isi buku ini jauh lebih mudah digambarkan dengan bahasa populer... Bab yang lain, next time kalau ada waktu lagi.
Salam, :))
mb jeki..anda luar biasa,, selalu membahasakan dengan sudut pandang yg mudah dipahami dan "renyah" ,, meyenangkan apabila setiap buku yang akan dibaca dapat membaca pengantar yg enak seperti ini (mksdnya dapat menarik pembaca lain tertarik mengunduh buku ini)
BalasHapus--terimakasih banyak--
Menurut saya, yang 'luar biasa' adalah pihak yang berhasil mengakomodir bacaan seru seperti ini. Sisanya hanyalah soal minat baca. Saya meyakini bahwa minat baca tidak lahir karena disengaja. Minat tersebut tumbuh karena keingintahuan dalam diri kita. Rasa ingin tahu itulah yang akan mengawal diri kita dalam menyaksikan penyingkapan realitas di sekeliling kita.
BalasHapusSaya setuju dengan kutipan Matt Groening di bagian kedua buku ini: "A lot of talented writers work on the show, half of them Harvard geeks. And you know, when you study the semiotics of 'Through the Looking Glass' or watch every episode of Star Trek, you've got to make it pay off, so you throw a lot of study references into whatever you do later in life." Pada dasarnya semua referensi (:kecuali yang masih menjadi rahasia Tuhan) sudah disediakan oleh alam dalam keseharian kita, namun tidak semua orang bisa memahami bahwa kita perlu mempertahankan rasa keingintahuan dalam menyelami proses pembacaan referensi. Bahkan, tidak ada yang pernah menyangka bahwa Tuhan pun hadir dalam minat baca kita. (Iqra' dalam bahasa arab berarti bacalah).
Bab kedua buku ini bercerita lebih dalam tentang episode-episode yang kelihatannya sulit untuk dilupakan. Pada tulisan pertama yang ditulis oleh William Irwin dan J.R. Lombardo, ulasan ditekankan pada contoh-contoh pengambilan referensi atau kutipan dari sumber cerita lain yang kemudian berhasil menjadi topik utama dalam episode The Simpsons. Misalnya seperti nukilan soal Bubba Gump Shrimp Company dari Forest Gump, atau 'The Day the Violence Died' yang beralegori dengan parodi "I'm Just a Bill". Mungkin banyak sumber cerita yang kurang kita kenal di Indonesia tapi sepertinya sudah lekat dengan kebudayaan Amerika. Sumber-sumber cerita itu tidak hanya menginspirasi, tapi juga memiliki kesan sinikal, atau mengkritisi muatan substansi didalamnya. Nah, Irwin dan Lombardo berusaha mempertanyakan, untuk apa referensi tersebut diperlukan dalam pembentukan cerita? Apakah ada semacam accidental assosiation=hubungan kebetulan atau murni penerjemahan-ulang ide asli? Hal inilah yang digali dalam tulisan ini. Yang makin ajaib adalah, justru dengan semakin banyak 'ironi' dalam episode The Simpsons, semakin banyak pula pemirsa yang menyukainya. Ironi-ironi itu terkesan seperti merefleksikan realitas kehidupan kita yang sebenarnya. Atau lebih tepatnya itu adalah cara tersinis yang dimiliki penulis cerita untuk bisa menghadirkan keterlibatan pemirsa dalam konteks cerita yang sama. Harus disadari, sindiran yang dilakukan cengan cara yang tepat bisa berakibat positif terhadap pembacaan diri kita. Benar begitu? Dalam kasus The Simpsons ini, kliatannya dapat dikatakan sukses berat!
Matt Groening says, "That's one of the great things about The Simpsons -- if you have read a few books, you'll get more of the jokes."
Oke, esai kedua ditulis oleh Deborah Knight dan menyangkut soal KRIMINALITAS! Sungguh tidak menyangka topik seperti ini akan dibahas, apalagi ketika dikait-kaitkan dengan Bart! Episode "Bart The Murderer" diceritakan secara kronologis dan dianalisis secara mendetail untuk mengingatkan kita bahwa parodi terkadang juga tidak lepas dari pengaruh karya satir yang belum tentu dapat diterjemahkan secara baik dan menyeluruh. Sebuah kesulitan yang dihadapi karya parodi. Nah, topik kriminalitas dalam tulisan ini ternyata digunakan untuk menjembatani penulis dalam memahami perbedaan parodi populer dan seni parodi. Keduanya didefinisikan secara berbeda. Parodi populer lebih terfokus pada nuansa komikal dan bukan pada ironi. Jadi parodi populer belum tentu memiliki kesan kuat terhadap proses refleksi yang dilakukan oleh para pemirsanya. Dengan kata lain, parodi populer tidak selalu berujung pada kritik. "Bart The Murderer" nampaknya merupakan salah satu kisah yang ingin menjembatani bagaimana parodi bisa dipersembahkan untuk menghibur dan sekaligus menyertakan ironi didalamnya.
Esai ketiga agak berat, hehe. Carl Matheson ingin memberi gambaran besar bahwa perubahan cara kita dalam melihat atau melakukan pembacaan parodi telah dipengaruhi oleh banyak hal yang terjadi selama ini. Perubahan itu tidak hanya disebabkan karena kedekatan kita terhadap penggunaan teknologi, tetapi juga karena pengaruh budaya pop (pop culture). Kalau mau dibahas, kelihatannya bisa satu esai sendiri, tapi saya yakin penggemar postmodernisme pasti bisa menjelaskannya dengan sangat baik. Tidak ada salahnya memahami bagaimana 'budaya pop' itu bekerja, karena pengaruhnya sungguh luar biasa bagi tatanan hidup seseorang. Meskipun demikian, inti esai ketiga ini ingin mengingatkan kita bahwa ironi sehebat apapupun tidak akan ada gunanya tanpa tujuan moral yang baik. Setidaknya yang mencoba untuk tetap mengingatkan kita mengenai nilai-nilai keluarga, seperti halnya tentang cinta dan kasih sayang. Mengutip Carl Matheson, "The Simpsons, consisting of a not-as-bright version of the Freudian id for a father, a sociopathic son, a prissy daughter, and a fairly dull but innocuous mother, is a family whose members love each other. And, we love them."
BalasHapusEsai terakhir dalam bab ini mengambil pelajaran dari Marge dan Lisa, ditulis oleh Dale E. Snow dan James J. Snow. Menyenangkan sekali bisa membahas isu gender, khususnya dalam The Simpsons. Dua karakter ini bahkan juga dianalisis dari dua sisi, sisi yang kontra dan berelasi. Dua karakter perempuan ini disadari oleh penulis memiliki aksen yang kuat dalam kepribadian dan perilaku mereka. Semua dianalisis secara detail. Saya tidak ingin merumuskan sesuatu untuk esai ini. Saya hanya ingin bilang, kalo penggambaran karakter ini sesungguhnya bukan hanya ditujukan untuk menyeimbangkan 'dunia laki-laki' di Springfield, tapi juga dunia perempuan itu sendiri. Marge yang 'innocuous' dan Lisa yang 'precocious', mereka tampaknya punya energi hebat untuk bisa membuat orang lain tunduk dan mengerti. That's it!
Apa yang bisa kita simpulkan dari bab kedua ini? The Simpsons dapat diterjemahkan dengan cara yang sangat beragam. Namun semua percaya bahwa semua cerita yang disusun memiliki tujuan untuk membebaskan pemirsanya merefleksikan diri mereka dalam kehidupan yang nyata. Kita belajar memahami ironi dan kita percaya bahwa hidup adalah ironi itu sendiri. Parodi hanyalah merupakan suatu cara untuk mendekatkan kita dengan ironi. Semakin jauh kita meninggalkan ironi, semakin jauh kita meninggalkan diri kita sendiri. After all, ternyata benar ya, kalau referensi dapat mempengaruhi parodi, dan sebaliknya parodi pun mampu menghasilkan referensi baru. Nice!
Mmm, back to top, OutOfTopic: kalau benar, minat baca tidak bisa disengaja, saya (ingin) percaya bahwa minat baca bisa ditularkan. Suatu hari saya menarik tangan teman hanya karena ingin memperlihatkannya pada dunia lain, dunia buku. Sayangnya, tidak muncul rasa excitement yang sama, [:garing]. Saya mencoba cara lain, saya menghujaninya dengan buku! dan cara saya terlihat lebih salah daripada yang sebelumnya. Maka, kuncinya hanya satu: menemukan orang-orang yang tepat untuk 'diracuni' dengan cara yang tepat pula. Itu hobi aneh saya.
Sorry, could not be shorter than this!
Salam, ;)